Nusantara dalam Pacuan Melawan Krisis Air Dunia

Nusantara dalam Pacuan Melawan Krisis Air Dunia

AGENDA keenam dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) yang ingin diwujudkan pada 2030 nanti jelas ambisius; semua penduduk dunia bisa menikmati air bersih. Akses terhadap air bersih adalah kunci untuk mewujudkan dunia bebas dari kemiskinan, kelaparan, dan penyakit.

Negara-negara dan pemangku kepentingan berpacu dengan waktu untuk mewujudkan ambisi ini.

Israel, negara gurun yang kering, dengan “Revolusi Air” tahun depan akan mampu memproduksi 200 miliar galon. Air Laut Galilea di utara negara itu dipompa melalui kanal dan pipa-pipa raksasa, lalu dengan proses desalinasi diolah jadi air minum. Negara ini juga telah menggunakan 80 persen air limbah untuk irigasi.

Cina punya “Sponge City”, atau kota spons. Sekitar 20 persen penduduk dunia ada di Cina, tapi negara ini hanya punya tujuh persen air tawar layak konsumsi di tanah-tanah mereka. Pada 2014 lalu, 11 dari 31 provinsi di negara ini tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan Bank Dunia, yaitu 1.500 meter kubik per kapita. Sementara itu, pertanian dan industri di sana menggunakan sekitar 85 persen dari total konsumsi air.

Kota spons adalah inisiatif untuk meningkatkan ketersediaan air di kawasan urban. Pemerintah Cina mengombinasikan solusi berbasis alam dengan “infrastruktur abu-abu” untuk mengurangi penjenuhan tanah oleh air, meningkatkan kualitas ekosistem, dan menangkap air limpasan untuk digunakan kembali. Targetnya, 70 persen air hujan bisa diserap kembali.

Kota spons sudah bisa dilihat di Shanghai. Di distrik Lingang atau Nanhui, trotoar dintegrasikan dengan pepohonan dan taman. Di antara situs-situs kontruksi, direncanakan pembangunan taman dan saluran air. Trotoar dibuat permeabel, memungkinkan air terserap kembali ke tanah. Bangunan-bangunan pun sudah mengaplikasikan konsep atap hijau dan memiliki penampungan air hujan. Sekitar 20 persen wilayah urban di Cina dicanangkan sudah mengimplementasikan Sponge City pada 2020.

Cina juga punya Tianhe Project, yang dikenal dengan “teknologi penyemaian awan”. Mereka sedang menguji teknologi canggih berbiaya rendah yang dapat mendorong turunnya hujan lebih banyak di dataran tinggi Tibet, cadangan air tawar terbesar di Asia. Ratusan tungku pembakar dipasang di pegunungan untuk memacu curah hujan sampai 10 miliar meter kubik per tahun. Proyek ini diharapkan dapat menurunkan hujan dan salju pada area seluas 1,6 juta kilometer persegi, tiga kali lebih luas dari Spanyol.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai salah satu pemilik sumber air tanah melimpah, dan tak punya masalah sepelik Israel atau Cina, sayangnya Indonesia terus dihantui krisis air bersih. Dalam lomba untuk mewujudkan mimpi “semua penduduk dunia bisa menikmati air bersih”, nusantara nan subur makmur ini tertinggal beberapa langkah di belakang.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Republik Indonesia menyatakan pada 2025 mendatang jumlah daerah defisit air di Indonesia akan meningkat hingga sekitar 7,84 persen. Dari wilayah yang mengalami defisit itu, terdapat 38 kabupaten atau kota (35 persen) telah mengalami defisit tinggi. Data-data ini menunjukkan bahwa Indonesia punya tugas besar dalam memastikan akses air bersih bagi semua penduduknya.

Tentu tidak fair jika hanya menempatkan ambisi besar agenda tujuan pembangunan berkelanjutan ini di pundak pemerintah saja. Semua elemen harus terlibat dalam upaya menyelamatkan sumber air bersih. Kampus dan para ilmuwan dengan riset-risetnya, lembaga nonpemerintah dengan program pemberdayaannya, aktifis lingkungan dengan kampanyenya, masyarakat dengan kesadarannya, hingga pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung. Ini adalah serangkai yang kuat untuk menciptakan Indonesia yang bebas dari krisis air.

Momentum Hari Air Sedunia, yang diperingati 22 Maret setiap tahunnya, menjadi cermin yang mengajak kita melihat kembali lebih dalam tentang “apa yang sudah kita lakukan untuk menyelamatkan air bersih?”.

Pada saat tantangan global sangat besar, mulai dari kemiskinan, ketidaksetaraan, bencana alam, hingga krisis kemanusiaan, peringatan Hari Air Sedunia 2019 membahas akses terhadap air dan sanitasi serta pengelolaan air yang berkelanjutan dapat menjadi pendorong perubahan. Sudahkah kita benar-benar terlibat di dalamnya? Saat Israel punya Revolusi Air dan Cina punya Tianhe Project, jangan-jangan kita belum melakukan apapun.  

“Air untuk semua”, di dalam agenda keenam SDG’s, menyiratkan bahwa semua orang termasuk lanjut usia, cacat, terpinggirkan, dan miskin mendapatkan akses yang sama terhadap air besih. Tanpa diskriminasi. No one left behind. Dan kita harus memastikan itu.

Selamat hari air.

Oleh Andi Irawan

Leave a Comment