Batik sebagai Warisan Budaya Dunia

Batik sebagai Warisan Budaya Dunia

Tanggal 2 Oktober 2009 menjadi hari istimewa bagi bangsa Indonesia. Hari itu, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO memberikan pengakuan internasional: batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009, pemerintah pun menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional.  

Sebagai warisan budaya, batik telah dikenal lama di berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, bebeberapa arkeolog dan sejarawan mempercayai bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. 

Oleh karenanya, motif batik Indonesia pun dikenal beragam. Tak hanya motif-motif populer seperti “tujuh rupa” (Pekalongan), “sogan” (Solo), “gentongan” (Madura), “mega mendung” (Cirebon), “keratin” (Yogyakarta), “simbut” (Banten), “kawung” (Jawa Tengah), “pring sedapur” (Jawa Timur), “priyangan” (Tasik), atau “parang” (Jawa); motif batik di Indonesia bahkan diklaim mencapai ribuan. Adalah Bandung Fe Institute dan Sobat Budaya yang melakukan pendataan mengenai motif batik asal Indonesia beberapa tahun lalu. Hasilnya, sekitar 5.849 motif batik berhasil terdokumentasikan.

UNESCO tentu tidak tanpa alasan dalam memberi pengakuan batik sebagai warisan kemanusiaan dan budaya. Mereka melihat teknik, simbolisme, dan budaya dalam pembuatan batik yang diwarnai menggunakan tangan pada bahan katun dan sutra telah menyatu dengan kehidupan rakyat Indonesia. Tradisi membatik sendiri dilakukan dari generasi ke genesari. Membatik dilakukan orang Indonesia di berbagai daerah dari usia kecil hingga dewasa. Selain itu, semenjak kecil, bayi telah digendong dengan kain batik dan ketika mereka meninggal pun biasanya akan diselimuti dengan kain batik. 

Pengakuan UNESCO membuat batik menjadi semakin diakui oleh dunia. Citra batik semakin terangkat. Batik tidak lagi dilihat sebagai pakaian adat atau pakaian yang bersifat formal, tua, dan kaku. Lebih jauh, batik saat ini telah digemari setiap kalangan dari anak-anak hingga usia dewasa.

Dengan mengemban status sebagai warisan budaya dunia, tentu menjadi tanggung jawab semua pihak untuk terus menjaga dan memajukan batik Indonesia. Pemerintah saat ini tengah meminta agar para pengrajin batik dapat mulai menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan. Kekhawatiran ini muncul karena proses pewarnaan kain batik yang kebanyakan dilakukan berulang kali dengan pewarna kimia atau buatan sehingga berbahaya bagi lingkungan.

Batik diharapkan juga bisa semakin memberi kontribusi pada perekonomian nasional. Oleh karena itu, tidak hanya berfokus memenuhi kebutuhan permintaan dalam negeri, para pelaku industri batik juga harus bisa menjawab tantangan pasar global. 

Beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan ekspor batik yang harus segera diantisipasi semua pihak dalam industri batik Indonesia. Tahun lalu, merujuk data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, ekspor batik kita mencapai 52,44 juta USD; menurun sedikit dibanding ekspor batik 2017 yang mencapai 58,46 juta USD. Padahal pada 2016 ekspor batik Indonesia pernah mencapai 149,9 juta USD. Saat ini, pada semester I/2019, ekspor batik Indonesia bahkan baru di angka 17,9 juta USD. Usaha membuka pasar-pasar baru tingkat global, diharapkan bisa kembali menaikkan ekspor batik Indonesia ke negara lain sekaligus semakin memperkenalkan batik Indonesia.  

Medco Foundation, sebagai lembaga yang selalu menghargai warisan budaya Indonesia, terus mendukung berbagai usaha untuk menaikkan citra batik Indonesia. Sudah semestinya semua pihak melangkah bersama dan bergandengan tangan dalam memajukan dunia batik Indonesia. 

Selamat Hari Batik Nasional.

(Aranzsa Audi, dari berbagai sumber)

Leave a Comment