Mengenal Conference of the Parties atau COP26, Konferensi Iklim Terbesar Dunia

Mengenal Conference of the Parties atau COP26, Konferensi Iklim Terbesar Dunia

Permasalahan terkait iklim merupakan isu penting bagi sebuah negara. Perubahan iklim menjadi salah satu topik yang menjadi agenda bersama pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB, yaitu COP26. Konferensi ini telah resmi dibuka pada akhir Oktober lalu oleh Presiden COP26 Alok Sharma. Dalam gelarannya yang ke-26, COP diselenggarakan pada 31 Oktober-12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia. COP26 mengangkat tema Leading Action Together Climate. Pada konferensi tersebut, Presiden Jokowi juga memberikan pidatonya dalam World Leaders Summit on Forest and Land Use. Lalu, apa itu COP26 dan mengapa penting dibahas oleh seluruh pemerintah negara? Berikut penjelasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Apa itu Pertemuan COP26?

COP merupakan singkatan dari Conference of the Parties atau diartikan sebagai Pertemuan Para Pihak. Dilansir dari BBC dan laman resmi United Nations Climate Change, COP26 adalah badan pembuat keputusan tertinggi dari United Nations Framework Convention on Climate Change, yang ditandatangani pada 1992. Namun COP pertama kali diadakan pada Maret 1995 di Berlin, Jerman. Forum tingkat tinggi ini rutin diadakan setiap tahun oleh 197 negara untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berencana untuk mengatasinya.

Setiap negara yang termasuk ke dalam COP berkumpul untuk melakukan peninjauan terkait dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, atau UNFCCC, yang merupakan perjanjian besar PBB. Perjanjian besar PBB tersebut menyatakan bahwa negara-negara perlu bersatu guna mencari tahu cara menghentikan pemanasan global. COP memiliki tugas utama yaitu melakukan peninjauan target-target setiap negara terkait emisi yang diajukan. Pelaksanaan COP akan digilir di antara lima wilayah PBB, yaitu Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Tengah dan Timur dan Eropa Barat dan lainnya.

Pada gelarannya yang ke-26, COP memiliki empat fokus isu pembahasan diantaranya yaitu pentingnya peralihan ke kendaraan listrik, mengakhiri deforestasi dengan bantuan keuangan, penyusunan aturan untuk pasar karbon global, dan mobilisasi dana untuk negara-negara berkembang.

Siapa saja yang menghadiri COP26?

COP26 dihadiri oleh 197 negara yang telah menandatangani Perjanjian Paris, yaitu dengan mengirimkan sekelompok delegasi untuk mewakili mereka dalam negosiasi. Sekitar 20.000 delegasi telah terdaftar untuk hadir dan 120 kepala negara juga diharapkan datang. Selain itu, tidak hanya dihadiri oleh pemimpin dan perwakilan dari semua pemerintah dunia, tetapi COP26 juga turut melibatkan partisipasi inklusif dari beragam golongan seperti aktivis lingkungan, anggota LSM, pelaku bisnis, kelompok agama, ilmuwan, hingga masyarakat adat.

Para pemimpin dunia berkumpul di KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, Senin (01/11). (Dok. kemenkeu.go.id)

Pentingnya COP26 Bagi Isu Perubahan Iklim

COP26 menjadi krusial sejak Perjanjian Paris yang terbentuk dalam agenda COP21 pada 2015 lalu, karena untuk pertama kalinya ratusan negara menyampaikan hasil kerja pemangkasan emisi mereka dalam lima tahun terakhir, sesuai dengan kesepakatan laporan rutin di Perjanjian Paris. Selain itu, COP26 menjadi pertemuan pertama untuk melakukan evaluasi setelah Perjanjian Paris, karena tahun lalu pelaksanaan COP sempat ditunda dikarenakan adanya pandemi COVID-19.

Dalam Perjanjian Paris 2015 lalu, telah disepakati jika pemanasan global naik hingga 1,5 derajat celcius di atas suhu yang pernah dialami di era pra-industri, maka akan terjadi banyak perubahan yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu, rencana yang telah dibuat sebelumnya harus dilaksanakan. Adapun target-target utama saat Perjanjian Paris 2015 atau ketika COP21 yaitu sebagai berikut:

  • Melakukan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
  • Mendorong peningkatan produksi energi terbarukan
  • Mempertahankan suhu global di bawah 2 derajat celcius, atau idealnya maksimal 1,5 derajat celcius
  • Komitmen menyumbangkan miliaran dolar untuk dampak perubahan iklim yang dihadapi oleh negara-negara miskin.

Kemudian, setelah target tersebut disusun akan dilakukan evaluasi setiap 5 tahun sekali. Dengan kata lain, COP26 adalah pertemuan pertama untuk melakukan evaluasi Perjanjian Paris, setelah pada 2020 ditunda karena pandemi COVID-19.

Hasil yang Diharapkan dari COP26

Pada pertemuan tingkat tinggi sebelumnya, ada beberapa isu yang masih belum terpecahkan. Sehingga pada COP26, diharapkan permasalahan tersebut dapat terselesaikan. Tidak hanya melakukan negosiasi, tetapi adanya aksi nyata mengatasi perubahan iklim. Adapun hasil yang diharapkan dari COP26 adalah sebagai berikut.

  1. Pendanaan dari negara-negara maju untuk memerangi maupun menanggulangi perubahan iklim.
  2. Kompensasi dari negara-negara maju atas dampak yang akan menimpa mereka.
  3. Uang dari kelompok negara maju untuk membantu negara berkembang dalam menerapkan ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
  4. Memastikan komitmen setiap negara untuk mencapai target pada 2050, yaitu nol emisi dan pengurangan karbon secara progresif pada 2030.

Selain itu, topik terkait keuangan iklim juga menjadi salah satu agenda yang dibahas pada COP26.

Ambisi Indonesia Pada COP26

Sejak jauh hari, Indonesia telah mempersiapkan diri untuk berkontribusi secara optimal melalui ambisi-ambisi penanganan iklim yang sudah dicatatkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Updated NDC Indonesia, maupun Dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) yang disampaikan kepada UNFCCC pada Juli 2021 lalu, sebagai mandat dari Perjanjian Paris. Komitmen ini juga telah diratifikasi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change.

Pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menjelaskan bahwa dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Ia menyampaikan bahwa Indonesia akan terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim yang saat ini menjadi ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global.

Presiden RI Joko Widodo di KTT COP26. (Dok. presidenri.go.id)

“Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020,” ujar Presiden Jokowi di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, 1 November 2021 lalu.

Selain itu, Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar sampai 2024, terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010 sampai pada tahun 2019.

“Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi di Indonesia akan mencapai carbon net sink selambatnya tahun 2030,” imbuhnya. Di sektor energi, Indonesia juga terus melangkah maju dengan pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit tenaga surya terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, Indonesia juga memanfaatkan energi baru terbarukan, termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.

Pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biofuel. Serta pengembangan industri berbasis clean energy termasuk pembangunan Kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara. Selain itu, carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari penanganan isu perubahan iklim.

Di sektor energi, Indonesia juga terus melangkah maju dengan pengembangan ekosistem mobil listrik. “Tetapi, hal itu tidak cukup, karena Indonesia merupakan negara yang mempunyai lahan dan potensi yang dihijaukan cukup luas serta negara yang memiliki laut luas yang potensial dalam menyumbang karbon sehingga membutuhkan dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju,” jelas Presiden.

Menurut Presiden Jokowi, penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju, merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

“Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia. Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Program apa yang didukung untuk pencapaian target SDGs yang terhambat akibat pandemi?” tegasnya.

Sebagai penutup dalam pidatonya, ia menyebutkan melalui KTT ini atas nama Forum Negara Kepulauan dan Pulau Kecil (AIS), ia menyebut bahwa Indonesia merasa terhormat dapat menyirkulasikan pernyataan bersama para Pemimpin AIS Forum.

“Sudah menjadi komitmen AIS Forum untuk terus memajukan kerjasama kelautan dan aksi iklim di UNFCCC,” ujarnya.

Dalam forum tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi juga turut hadir mendampingi Presiden.

Istilah-istilah yang Perlu Diketahui Terkait COP26

Ada beberapa istilah yang berkaitan erat ketika membicarakan perubahan iklim. Apa saja istilah-istilah tersebut?

1. Nationally Determined Contributions (NDC)

Nationally Determined Contributions atau NDC merupakan rencana komitmen dan kontribusi setiap negara dalam memangkas emisi guna meredam laju krisis iklim. Istilah ini digunakan oleh PBB untuk rencana nasional masing-masing negara guna memangkas emisi gas rumah kaca.

Ketentuan ini lahir dari Perjanjian Paris pada 2015 yang ditandatangani yang telah disepakati oleh 197 negara untuk mencapai target pembatasan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius, bahkan mengupayakan pada batas 1,5 derajat celcius pada 2030 mendatang.

2. Net Zero Emission

Net Zero Emission atau emisi nol bersih merupakan pencapaian keseimbangan antara emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dengan emisi GRK yang dihilangkan. Misalkan sebuah negara menghasilkan 1 ton emisi GRK, maka negara tersebut harus mencari cara untuk menghapuskan 1 ton emisi GRK. Dalam mencapai hal ini, negara dan perusahaan terkait perlu menggunakan metode alami, yaitu dengan menanam pohon atau memulihkan padang rumput.

3. Carbon Trade atau Perdagangan Karbon

Perdagangan emisi karbon yang dilakukan antar-negara untuk mengurangi emisi karbon dunia, khususnya CO2 dalam satuan ton. Dalam program ini, negara yang menghasilkan emisi lebih banyak dapat mengeluarkan emisi tersebut dari negaranya. Sementara, negara dengan emisi lebih rendah bisa menjual hak menghasilkan emisi sesuai batasnya ke negara lain.

4. Carbon Offset

Berkaitan erat dengan skema perdagangan karbon yang memungkinkan penghasil emisi GRK menukar atau ‘mengimbangi’ polusi mereka dengan ‘kredit’ karbon dari pihak lain yang mencegah atau menghapuskan emisi GRK.

5. Carbon Tax atau Pajak Karbon

Kebijakan pemerintah yang menetapkan harga yang harus dibayar oleh penghasil emisi untuk setiap ton GRK yang melebihi batas ketentuan emisi yang disepakati.

6. Article 6

Pasal dari Perjanjian Paris yang mengatur terkait implementasi pasar karbon.

(Mutiara Widayanti)

Sumber

Leave a Comment