Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018

Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018

[layerslider id=”17″]

“… tumpah darah yang satu, tanah Indonesia”

“… berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”

“… menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”

Tepat 90 tahun dan satu hari lalu tiga kalimat tersebut ditulis sebagai hasil putusan rapat kongres pemuda Indonesia. Ketika itu Indonesia adalah sebuah konsep, butuh waktu 17 tahun untuk sampai ke titik proklamasi kemerdekaan bangsa ini. Konsep atau mimpi ini adalah bentuk dari sebuah kebulatan tekad pemuda Indonesia pada era itu untuk mempersatukan bangsa ini, dengan melihat jauh ke depan tanpa memikirkan kotak-kotak budaya, bahasa dan suku. Mimpi tersebut adalah harapan.

Mungkin ada baiknya kita selaku pelaku bisnis juga seperti itu, berpikir komprehensif. Tidak hanya memikirkan bisnis kita, tapi juga lingkungan sekitar. Kita sepakati dulu mau cari bisnis dalam sektor apa, bisnisnya bagaimana, ada yang mau beli atau nggak? Baru setelah itu kita lihat kompetensi masing-masing unit kerja. Kadang kita terlalu terpaku akan sebuah kotak yang kita buat sendiri tanpa memikirkan bahwa sebetulnya banyak mitra kerja yang ada di lingkungan usaha sendiri.

Dahulu, banyak pemikiran untuk menjalankan sebuah misi tanpa terlalu memikirkan masa depan, dampak sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan hidup dari usaha yang akan dijalankan. Hari ini sangat jauh berbeda, kita sudah mengenal feasibility studies, analisa dampak lingkungan, social mapping dan market studies. Beberapa lembaga dunia bahkan sudah dapat memprediksi seluruh dampak tersebut dalam kurun waktu sangat singkat.

Pernah ada seorang senior saya di grup ini menganjurkan “kalau kita kan bikin dulu organisasinya supaya jelas siapa yang in-charge, setelah itu baru kita jalankan proses pengembangan usahanya”. Terus terang saya sangat tidak nyaman dengan kalimat tersebut, karena sangat tidak mencerminkan apa yang saya pelajari dari founder grup ini. Di mana seharusnya kita secara kolektif melihat potensi daerah atau pengembangan usaha dahulu baru kita tentukan siapa yang akan mengerjakannya. Sekarang dia sudah keluar, kabar terakhir dia mengajar di sebuah universitas. Agak ngeri juga sebetulnya, karena saya khawatir dia mengajarkan hal yang salah kepada para anak didiknya.

Saya mengerti bahwa semangat kepeloporan itu kental sekali ada di dalam tubuh Medco. Tapi bukan berarti kita harus menjalankan apa yang tersurat saja. Kadang, yang tersirat jauh lebih penting dan mungkin jauh lebih menguntungkan.

Kembali ke tahun 1928, yang penting untuk kita ingat pada waktu itu adalah dari 742 bahasa di nusantara ini, mereka sepakat untuk memiliki satu bahasa persatuan. Bahasa yang seragam ini memungkinkan kita untuk dapat berkomunikasi tanpa kita harus kehilangan identitas masing-masing. TV, media sosial, dan berbagai medium telekomunikasi hari ini dapat menjangkau seluruh pelosok tanah air dengan mudah karena adanya bahasa persatuan. 

Dalam konteks di bulan oktober 2018 ini, saya melihat kita memiliki bahasa yang sama dalam kelompok usaha Medco. Kita ingat di awal bulan kita semua mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membantu misi tanggap bencana di Palu, Sigi dan Donggala. Tidak kurang dari satu miliar rupiah kita dapatkan kurang dari satu minggu, sungguh usaha yang sangat luar biasa. Di lapangan, saya melihat relawan bekerja saling bahu membahu tanpa melihat kelompok usaha dari mana mereka berasal dan tunduk dalam sebuah kepemimpinan kolektif yang disepakati bersama. Tanpa komando yang signifikan dari Jakarta, para relawan bergerak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing selama kurang lebih 20 hari. Ini adalah wajah Medco sesungguhnya.

Saya masih bermimpi jika secara “bahasa” (mental dan sudut pandang kita) dapat diselaraskan seperti kita melihat bencana alam tempo hari, tantangan usaha lainnya dapat kita kerjakan juga dengan tingkat keberhasilan dan kecepatan yang serupa. Sesungguhnya kita sedang ada dalam beberapa “bencana” yang dapat kita lihat sebagai oppportunity/kesempatan. Krisis pangan, krisis energi dan krisis air. Sebagai warga negara yang baik, kita sudah sepatutnya ikut menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Mimpi ini adalah harapan.

Dum Vita Est, Spes Est

Roni Pramaditia, Ketua Medco Foundation

 

Leave a Comment

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

I agree to these terms.